TEMPO.CO, Gresik- Bunyi cuit, cuit, cuit, terdengar begitu air yang dituangkan dalam gelas sampai pada batas maksimal yang ditentukan. Tak sampai 5 detik sejak air dituangkan, alarm berbunyi. Persis seperti suara burung, tapi bukan seekor burung hidup. Itu hanya suara tiruan yang keluar dari balik bungkusan kotak kecil berwarna kombinasi biru dan merah muda. Didalamya ada seperangkat alat detektor yang menghasilkan bunyi. Simpel dan murah.
Simpel, karena cara membuatnya sebenarnya sangat sederhana dan mudah diaplikasikan bagi yang membutuhkan. Murah, lantaran cukup membutuhkan modal puluhan ribu, alat sudah jadi. Lewat karya sederhana itu, justru menghasilkan penghargaan tingkat internasional. "Saya beli boneka seharga Rp 20-30 ribu yang ada sensor bunyinya. kebetulan saya pilih yang bunyi burung," kata Nadya Almass Lutfiahardha Arief, peraih medali perunggu di ajang International Exhibition for Young Inventors 2012 di Thailand kepada Tempo, Rabu 26 Juni 2013.
Ide ini berawal saat membaca buku sejarah tentang huruf braille atau sejenis sistem tulisan sentuh yang digunakan oleh orang buta. Terinspirasi temuan Louis Braille, seorang Prancis yang mengalami kebutaan sejak kecil sekaligus pencipta tulisan Braille, Nadya mulai berfikir bagaimana agar tunanetra juga tahu bahwa air yang akan diminumnya tidak tumpah. Pikiran ini menggelanyut kala ia duduk di kelas 4 Sekolah Dasar. Serangkaian diskusi pun segera dilakukan hingga terbersit memanfaatkan bunyi-bunyian dari boneka. Karena disetting untuk kebutuhan tunanetra, yang dibutuhkan adalah kekuatan suara sebagai pemandu atau alarm pengingat.
Bermodal uang saku, ia bergegas membeli boneka burung di pasaran. Perut burung lantas dibuka untuk mengambil komponen detektor sebagai sensor bunyi. Nadya tak sendiri, ia juga melibatkan teman dan guru pembimbing. Dari "jeroan" burung itu, tim mencari rangkaian speaker dan sensor sentuh yang terdiri dari 2 alur. Rangkaian speaker dibuka untuk diambil alur positif (+) dan negatif (-). Kabel hitam disolder di alur (+) dan kabel merah disolder di alur (-). Setelah "dioperasi', rangkaian dikembalikan seperti semula dan menyisakan dua kabel berada di luar rangkaian. Dua kabel itu ditekuk hingga memungkinkan untuk dikaitkan ke gelas. Dengan cara ini, ujung kabel berkutub (+) dan (-) menempel pada bagian dalam gelas. "Teman saya yang bagian solder-solder, dia lebih tahu sistem elektronya," Nadya.
Cara kerjanya, air dituangkan kedalam gelas. Saat air hampir mencapai ujung gelas, permukaan atas air menyentuh terlebih dahulu kedua ujung kabel (+) dan (-). Secara otomatis, terdengar bunyi cuit, cuit, cuit dari rangkaian speaker yang dibalut kotak kecil tadi. Menurut Ria Eka Lestari, guru pembimbing penelitian, suara ini karena air bersifat konduktor listrik. Ketika air menyentuh kutub (+) dan (-) sekaligus, elektron mengalir dan menghasilkan energi listrik hingga merambat ke rangkaian speaker.
Air, kata ia, sebagai pengganti saklar. Karena telah bunyi cuit, cuit, cuit sebagai pertanda air sudah menyentuh batas maksimal, kata Tari, "Orang buta tahu bahwa airnya tidak akan tumpah, karena alarm berbunyi."
Kombinasi antara gelas dan suara sebagai penanda alarm untuk tunanetra ini, lahir istilah Braille Glass. Cara kerja Braille Glass juga mengadopsi alarm pada bath tub di kamar mandi. Menurutnya, bath tub di luar negeri dilengkapi dengan alarm guna mengantisipasi air meluber. Begitu air sudah diambang batas maksimal, alarm berbunyi.
Dibutuhkan waktu sekitar 1,5 bulan menyusun konsepnya hingga alat jadi. Karya ini sempat meraih juara I di tingkat Kabupaten Gresik. Temuan ini lantas dilombakan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2011 dalam ajang National Young Inventor Awards. Sayangnya, keberuntungan belum memihak Nadya dan tim SD Muhammadiyah Manyar, Kabupaten Gresik itu. Kendati gagal menggondol gelar, LIPI merekomendasikan ikut ajang International Exhibition for Young Inventors tahun 2012 di Thailand. Dalam lomba di Thailand, kata Tari, panitian mensyaratkan karya harus mudah diaplikasikan dan bermanfaat langsung pada masyarakat.
Gagal di tingkat nasional, karya ini berhasil menggondol medali perunggu di tingkat internasional. Menurut Tari, panitia IEYI 2012 kepincut dengan karya Nadya yang dianggap sederhana, simpel, murah tapi sangat bermanfaat bagi tunanetra dan mudah diaplikasikan. Menyabet juara III di ajang itu adalah satu prestasi membanggakan. Ada hikmah dari kegagalan di tingkat nasional. Hikmahnya, kata ia, karya yang dilombakan oleh LIPI itu harus sulit agar terbentuk pola pikir yang sulit, kendati karya itu belum tentu mudah diaplikasikan langsung ke masyarakat . "Padahal di IEYI, yang dinilai karya yang simpel tapi langsung bisa dirasakan masyarakat."
DIANANTA P. SUMEDI
Berita Terkait:
Siswa Taruna Temukan Detektor Telur Busuk
Cara Kerja Helm Berpendingin Karya Siswa SMP
Helm Berpendingin Temuan Siswa SMP
Sulitnya Siswa SMP Buat Helm Anti-Gegar Otak
Pelajar SMP Buat Helm Anti-Gegar Otak