TEMPO.CO, Yogyakarta - Sejumlah sekolah di Kota Yogyakarta selama ini memiliki siswa-siswi berprestasi dalam ajang penemu internasional, satu di antaranya SMAN 6 Yogyakarta. Pelajar dari sekolah ini, antara lain menemukan bra penampung ASI, dan mesin penyaring sampah. Meski telah banyak terpublikasikan, temuan-temuan itu belum dipatenkan.
"Sebenarnya berisiko, kalau dianggap bagus gampang ditiru orang lain," kata Rudy Prakanto, Wakil Kepala Bidang Riset dan Pengembangan SMAN 6 Kota Yogyakarta kepada Tempo, Minggu, 30 Juni 2013.
Rudi mengeluh, selama ini puluhan temuan bermutu dari siswa-siswa sekolahnya belum terdaftar hak patennya di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Padahal, banyak media telah mempublikasikan dan telah mampir di banyak pameran serta kompetisi. "Tahun ini, Lembaga Iilmu Pengetahuan Indonesia menyarankan segera dipatenkan, tapi kami kesulitan," kata dia.
Dia mengaku, faktor utama kesulitan mendaftarkan hak paten karya-karya siswanya terganjal oleh minimnya pengetahuan sekolah terhadap aspek teknis pendaftaran hak paten. Sebab, kata Rudi, proses teknis pendaftaran hak paten tidak sesederhana proses penyaringan di kompetisi sains, yang biasanya hanya memerlukan berkas karya ilmiah tertulis di level pendafataran. "Kami membutuhkan bantuan kampus yang berpengalaman soal pendaftaran hak paten," kata dia.
Rudi mengatakan, sekolahnya pernah berhasil mendaftarkan hak paten karya siswa, yakni kripik bonggol pisang pada 2006. Proses pendaftaran hak paten kripik bonggol pisang bisa berjalan lancar, karena ada program pendampingan dari Fakultas Hukum UGM dan LPPM UGM. Pendaftaran ini, kata dia, menghabiskan dana sekolahnya sekitar Rp3 juta. "Itu pun hanya sampai hak paten pending, atau baru terdaftar nomor registrasinya, tapi sampai sekarang belum ada sampai hak paten sempurna," kata Rudi.
Kondisi ini berbeda dengan karya-karya penemu belia dari sejumlah negara ASEAN, seperti Malaysia, Brunei, dan Vietnam. Rudi memberi contoh, ketika menghadiri International Exhibition for Young Inventor (IEYI) 2013 di Malaysia pada Mei lalu, hampir semua stand pameran karya-karya temuan siswa sekolah negara lain yang mengikuti kompetisi ini memiliki nomer register hak paten. Minimal ada tanda nomer register hak paten pending.
"Teman-teman dari Malaysia, Brunei, dan Vietnam mengatakan, pemerintahnya memang memberikan program pendampingan intensif untuk mendaftarkan hak paten karya-karya temuan itu sebelum dilempar ke kompetisi internasional," ujar dia.
Selain masalah minimnya pengetahuan mengenai proses pendaftaran hak paten, kata Rudi, problem lainnya ialah dana. Dia memperkirakan untuk mencapai level hak paten pending saja harus tersedia dana sekitar Rp 3 juta. Belum lagi jika sudah menjadi hak paten final, pemegang paten juga masih perlu membayar biaya tambahan secara rutin untuk memperbaharui nomer register paten. "Mungkin semacam pajaknya," kata dia.
Baru-baru ini, SMAN 6 Kota Yogyakarta sedang mengupayakan pendaftaran hak paten terhadap temuan siswanya, yakni "Bra Penampun ASI". Untuk pembiayaan awal, kata Rudi, sekolahnya menerima bantuan alumni sekitar Rp3 juta untuk proses pendaftaran hingga mencapai level hak paten pending. "Temuan ini sederhana, tapi sangat bermanfaaat dan layak dikembangkan untuk produksi massal. Kasihan siswa kami kalau itu dijiplak pihak lain," kata dia. (Baca: Edisi Khusus Penemu Muda)
ADDI MAWAHBUN IDHOM
Topik Terhangat
Karya Penemu Muda | Bursa Capres 2014 | Ribut Kabut Asap | Bencana Aceh
Berita Lain:
Eggi Sudjana Lolos Calon Gubernur Jawa Timur
Tiru Jokowi, Calon Gubernur PDIP Blusukan ke Pasar
Inilah 21 Negara Tempat Snowden Meminta Suaka
Rekaman Kokpit: Pilot Asiana Minta Batal Mendarat