Kisah Penderita Tuna Netra Beprofesi Sebagai Service Komputer

Bagi Sugiyanto(47)warga RT 2 RW 1 Kelurahan Lugosobo KecamatanGebang, Purworejo dunia ini tampak gelap gulita. Garis takdirnya memiliki keterbatasan fisik, matanya buta. 

Tapi selalu ada hikmah di balik setiap penciptanNya. Meski ditakdirkan buta matanya, tapi Sugiyanto seperti dianugerahi Mata Tuhan yang menuntunnya menjalani kehidupannya.

Tentu tidak serta merta Mata Tuhan itudiperolehnya. Kerja keras, semangat belajar, serta doa dan tawakkal yang konsisten dijalaninya seakan membuat Sang Penguasa memurahkan pencahayaan batiniah untuknya. 

Betapa tidak, Sugiyanto mampu menjalankan pekerjaan yang rasanya tidak masuk akal bisa dilakukan oleh orang yang memiliki keterbatasan fisik seperti dia. Bayangkan, dengan Mata Tuhannya, dia mampu memperbaiki perangkat barang-barang elektronik, tak terkecuali dengan perangkat komputer. 

Tanganya seakan punya "mata". Anggota tubuh itu menjadi andalannya setiap kali memperbaiki peralatan elek-tronik yang rusak. Hanya cukup mera-banya saja, Sugiyanto sudah mampu mendiagnosa kerusakan dan kemudian mem-perbaikinya seperti tukang reparasi lainnya yang memiliki penglihatan sempurna.

Sugiyanto memang termasuk tuna netra yang unggul. Dia menguasai berbagai ilmu. Tak hanya memiliki kepiawaian memijat seperti tuna netra kebanyakan, dia juga mampu menyelesaikan kuliahnya di IKIP PGRI Wates dengan jurusan Bimbingan Konseling pada 2010. 

Judul skripsi yang dibuatnya waktu itu ‘Bimbingan Belajar bagi Anak SMP Negeri 23 Purworejo’.

Atas prestasinya itu, ia diberi kesem-patan untuk mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) Muhammadiyah baik untuk kelas TK hingga SMP. Materi yang diberikan seperti halnya materi di sekolahan umum seperti Matematika, IPA, maupun IPS.

Sedang keahliannya memijat, ia pela-jari dengan mengikuti pelatihan selama satu tahun di Pemalang pada 1986. Pelanggannya selain warga Lugosobo juga warga lainnya dari luar kampung.

Di samping selatan rumahnya, terdap-at rumah kecil yang dijadikan sebagai bengkel kerjanya. Di rumah kecil inilah, dia membaginya menjadi dua ruangan. Satu ruangan untuk tempat memijat pasien, satunya lagi untuk bengkel per-baikan alat-alat yang berkaitan dengan elektronika seperti televisi, radio, tape recorder, dan komputer.

Awalnya karena Sugianto menyenangi otak-atik elektronika, lama-lama dia bisa memperbaiki sendiri. Saya belajar secara otodidak karena tidak ada yang mengajari. Untuk pengembangan diri, saya juga sering tanya kepada teman sesama elektronis.

Yang menjadi kendala saat memper-baiki barang elektronik, imbuh Sugiyanto, yakni ketika membutuhkan ‘tahanan’, perangkat elektronik yang berwarna-warni itu tidak bisa ia kuasai. Termasuk membedakan warna di layar televisi. Untuk masalah ini, terpaksa dia meminta bantuan istri atau putrinya. source