Ulun Danu Bratan

Bagi anda yang sudah pernah mengunjungi pulau Bali tentu saja sudah tidak asing dengan dataran tinggi Bedugul yang terletak di kabupaten Tabanan. Dataran tinggi ini merupakan salah satu daerah wisata unggulan Pulau Dewata yang cukup lengkap. Di daerah berhawa sejuk ini anda dapat melihat pesona keindahan danau Bratan sekaligus menikmati produk-produk hasil kebudayaan masyarakat agraris Tabanan. Seperti kebanyakan daerah terkenal lainnya di Bali, dataran tinggi Bedugul pun memiliki sebuah pura suci bersejarah.

Sebagai salah satu ikon pulau Bali, hampir semua orang di dunia pasti mengenal pura suci ini, setidaknya dari foto-foto yang tersebar baik di dunia maya ataupun di berbagai media cetak. Bagi orang Indonesia sendiri seharusnya memang mengenal pura yang dibangun untuk memuja dewi Danu ini, karena pura ini dipakai sebagai desain salah satu sisi uang Rp. 50.000. Meskipun dikenal sebagai salah satu ikon Bali, namun tak banyak orang yang mengetahui sejarah dan fungsi sebenarnya dari pura suci yang bernama Ulun Danu Bratan ini.

Ulun Danu ini sebenarnya merupakan sebuah bangunan suci umat Hindu yang dibangun untuk memuja Dewi Danu, “Danu” sendiri adalah bahasa lokal Bali yang berarti “Danau” dalam bahasa Indonesia. Sedangkan “Bratan” adalah nama dari danau yang terletak di dataran tinggi Bedugul ini. Menurut mitos yang ada di masyarakat Bali, sebenarnya danau Bratan ini merupakan danau yang terbesar di pulau Bali. Namun pada suatu ketika terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat dan akhirnya danau Bratan ini terbagi menjadi tiga bagian, Bratan, Tamblingan dan Buyan. Nama “Bratan” diambil dari kata “Brata” yang berarti mengendalikan diri dengan menutup Sembilan lubang kehidupan. Kata-kata “Brata” ini dapat kita jumpai dalam istilah “Tapa Brata” yang memiliki arti bersemedi atau bermeditasi untuk mencapai ketenangan agar dapat manunggal dengan alam dan berkomunikasi dengan Yang Maha Gaib.

Berdasarkan lontar Babad Mengwi, Pura Ulun Danu Bratan ini dibangun pada tahun 1556 Caka (1634 M) oleh I Gusti Agung Sakti atau I Gusti Agung Putu. Namun dari hasil penelitian yang lebih lanjut, ditemukan bukti-bukti lain yang mengindikasikan bahwa Pura Ulun Danu Bratan ini dibangun sebelum tahun 1556 Caka. Salah satunya adalah penemuan Sarkofagus dan papan batu yang berasal dari kebudayaan Megalitik (+/- 500 SM). Dari penemuan ini tentu saja dapat dianggap bahwa pura suci ini memiliki nilai-nilai religi sejak zaman Megalitik.

Sebagai salah satu Kahyangan Jagat pulau yang dahulu bernama Balidwipa ini, tentu saja Ulun Danu Bratan tidak terlepas dari pemujaan terhadap Trimurti (Siwa, Brahma, Wisnu). Hal ini bukan hanya terlihat dari struktur pura pemujaan di Ulun Danu, tetapi juga dari penemuan tiga buah batu yang masing-masing berwarna merah, hitam dan putih pada tahun 1968. Ketiga warna ini merupakan warna suci (Tri Datu), “merah” lambang Bhatara Brahma “sang pencipta”, “hitam” lambang Bhatara Wisnu “Sang Penyeimbang” dan “putih” lambang Bhatara Siwa “Sang Pelebur”.

Pura Ulun Danu Bratan ini terdiri dari empat bangunan suci, yaitu; Pura Lingga Petak dengan tiga tingkat “Meru” sebagai tempat pemujaan bagi dewa Siwa, Pura Penataran Puncak Mangu dengan 11 tingkat “Meru” sebagai tempat pemujaan dewa Wisnu, Pura Teratai Bang sebagai pura utama, dan Pura Dalem Purwa sebagai tempat pemujaan kepada Sang Hyang Widhi dalam manifestasinya sebagai Trimurti. Pura Dalem Purwa ini berfungsi sebagai tempat memohon kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan.

Selain Pura Ulun Danu yang merupakan tempat suci bagi agama Hindu, di lokasi ini pun terdapat Wihara dan Mesjid. Hal ini tentu saja menunjukkan bahwa Bedugul merupakan sebuah tempat wisata yang sarat akan nilai toleransi tinggi yang amat jarang dapat kita temui pada masa sekarang ini. Jika anda datang berkunjung ke desa Candi Kuning ini, luangkanlah waktu anda lebih banyak untuk berbaur dalam kehidupan masyarakat lokal Bedugul. Siapa tahu, dalam kearifan lokalnya kita dapat menemukan cita-cita utopis bangsa ini yang selalu memimpikan untuk hidup dalam harmoni dan toleransisource